MAKALAH KEWIRAAN
WAJAH POLITIK JAKARTA
Disusun
oleh :
Nurul
Ahmad Ghozali
14030110060050
DIII
ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2012
BAB PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejalan
dengan perubahan sistem pemilihan umum di Indonesia, bentuk-bentuk kampanye
politik turut berubah. Penggunaan konsultan politik merupakan salah satu cara
kampanye modern yang banyak dilakukan saat ini.
Melalui
survei yang dilakukan konsultan politik, parpol atau politisi bisa mengetahui
perilaku pemilih, membuat pertimbangan untuk menentukan calon, membuat program
kampanye, dan mengetahui hasil pemilihan lewat penghitungan cepat. Selain itu,
konsultan politik bisa memoles calon atau parpol melalui kampanye pencitraan di
media massa.
Meski
terbilang modern, kampanye dengan pencitraan melalui iklan politik itu
mempunyai kecenderungan manipulatif. Pengamat politik J Kristiadi dari CSIS
mengingatkan, iklan politik mirip dengan reklame produk komersial. Iklan
politik dapat mengubah seorang politisi medioker menjadi pemimpin karismatik.
Yang terjadi adalah ironi politik. Mereka yang bekerja keras, mempunyai
kompetensi dan kapabilitas, terpaksa kalah dari mereka yang populer (Kompas,
25/11/2008). Selain itu, rakyat sebagai pemilik suara kurang bisa mendapatkan
informasi yang komprehensif dan benar tentang sosok atau parpol yang
ditawarkan.
Di
masa Orde Baru, hubungan parpol dan konstituen selalu berjarak. Golkar
mendominasi hampir setiap aktivitas kampanye pemilu. Kampanye Golkar selalu
dipadati massa dan simpatisan. Namun, hal itu terjadi karena mobilisasi massa
dilakukan. Alhasil, rakyat menjadi biasa memilih Golkar sebagai kewajiban di
era Orba, dan bukan karena mendapatkan pendidikan politik yang baik.
“Paling
demokratis”. Kondisi itu jauh berbeda dengan kampanye Pemilu 1955 yang dikenal
sebagai pemilu pertama dan disebut-sebut sebagai salah satu pemilu yang paling
demokratis. Melalui kampanye tradisional seperti pengalangan massa,
pertemuan-pertemuan, rapat umum, dan orasi tokohnya, parpol peserta Pemilu 1955
gigih menggalang dukungan pemilih hingga ke desa-desa.
Selain
memperkenalkan tanda gambar yang akan dicoblos, mereka juga melakukan kegiatan
sosial untuk membangun basis massa yang lebih permanen dan bersifat jangka
panjang. Tak heran bila jarak antara pengurus parpol dan konstituen terbilang
dekat. Pemilih memiliki ikatan efektif dengan partai yang didukungnya. Bahkan,
terjalin ikatan yang kuat antara parpol dan anggotanya dengan menerapkan kartu
anggota.
Disebutkan
bahwa partai-partai besar seperti PNI, NU, Masyumi, dan PKI giat memperagakan
lambang partainya dan menerapkan kartu anggota. Menjelang pemilu, jumlah
anggota PNI tercatat 5,2 juta orang dan PKI sekitar 1 juta orang. Kampanye yang
dilakukan parpol pada saat itu menciptakan semangat kolektivitas di tingkat
desa. Parpol mampu menjalankan fungsi-fungsi sosial yang penting di desa
seperti gotong royong dan kegiatan sosial. Saat ini, sistem politik telah
berubah total pasca-Reformasi. Format keterbukaan dan dialog langsung kembali
diinginkan publik sebagaimana yang dulu pernah berlangsung.
1.2
Perumusan Masalah
Rumusan masalah penulisan ini adalah
:
1. Apa
arti pencitraan sebenarnya?
2. Bagaimana
proses pencitraan itu terjadi?
3. Bagaimana
tanggapan partai politik yang mengusung kandidat tersebut?
BAB ISI
1.1 Pembahasan
Dari
berbagai definisi yang ada, bisa ditarik kesimpulan bahwa pencitraan adalah
“how to make something or someone to be good opinion”. Yaitu suatu upaya agar
sesuatu hal, sesuatu barang atau suatu pribadi dinilai baik oleh masyarakat,
sejauh itu sesuai dengan fakta dan bertujuan baik”.
“Politik
pencitraan itu bahkan sama sekali tidak ada. Karena mereka tampil apa adanya.
Jokowi yang suka garuk-garuk kepala, Jokowi yang ketawa kalau tidak bisa
menjawab, yah memang apa adanya mereka begitu.” Hasan Nasbi, Direktur Eksekutif
Cyrus Network [Kompas.com]
Selain
pernyataan Hasan Nasbi, cukup banyak juga pemberitaan media yang senada dengannya.
Menurut KBBI online, citra adalah rupa, gambar, gambaran, gambaran yang
dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk.
Sedangkan pencitraan dalam ranah politik didefenisikan sebagai gambaran diri
yang ingin diciptakan oleh seorang tokoh masyarakat.
Nah,
bukankah pemberitaan (terlepas dari benar atau tidaknya) karakteristiknya yang
khas, track record yang diberitakan sukses mengelola kota Solo, bebas korupsi,
merakyat dst, adalah sebentuk pencitraan berdasarkan defenisi di atas. Bukankah
penerbitan buku Ajianto Dwi Nugroho yang berjudul “Jokowi, Politik Tanpa
Pencitraan” adalah sebentuk politik pencitraan? [Gramedia].
Saya
mengakui bahwa Jokowi-Ahok memang populer seperti data survey yang
dipublikasikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (Tempo), bahkan tanpa
melihat hasil survey AJI pun saya bisa merasakan kepopulerannya di berbagai
media, khususnya media online. Nah, justru pencitraan politiklah yang telah
mempopulerkan Jokowi-Ahok. “Jika ada yang mengaku bebas dari pencintraan, perlu
dipertanyakan kejujurannya dalam berpolitik.” [Bungram]
Siti
Zuhro, Peneliti Politik senior LIPI, mengatakan baik Fauzi Bowo atau Joko
Widodo melakukan politik pencitraan dengan gayanya masing-masing. "Di situ
ada yang melakukan politik pencitraan lugas dengan caranya, biar saja seperti
ini. Ada yang dimake-up (dirias) sedemikian rupa supaya dirinya terkesan sangat
utuh," ujar Zuhro dalam diskusi santai 'Pembelajaran Pilkada DKI untuk
Penataan Pilkada Indonesia' di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu
(30/9/2012).
Namun,
lanjut Zuhro, metode politik pencitraan tersebut justru bisa menggali kubur
sendiri karena bisa menjadi bom waktu. "Ada keinginan akhirnya dari
masyarakat untuk menguak mengapa yang bersangkutan politik pencitraannya
diutamakan. Itu sebenarnya cara satu sisi bahwa ada yang tidak mumpuni untuk
menajamkan programnya," lanjut Zuhro.
Dikatakannya,
masyarakat seharusnya tidak diberikan cek kosong dengan menjual pencitraan yang
menonjol. Sebab dengan pencitraan yang kental, justri niatan membangun Jakarta
kemudian dipertanyakan. "Kontestasinya memang belum utuh menurut saya.
Satunya kental dengan politik pencitraan satunya kental dengan top down
elitismenya. Kita disuguhi kekuatan yang tidak bisa kita kompetisikan atau komprtasikan
(perbandingkan)," jelasnya.
Jokowi
tampil dengan tampang ndeso, gaya khas daerah, jauh dari kesan tampang kota.
Menjawab pertanyaan juga apa adanya. Gaya ini ternyata lebih disukai mayoritas
publik ketimbang muncul dengan wajah seorang birokrat yang ngomongnya terlalu
diatur dan jaim, jaga image. Para bakal calon kepala daerah lain juga berusaha
tampil dengan cara ini. Termasuk menggunakan kostum khusus seperti Jokowi
dengan para simpatisannya. Pendek kata, cara-cara Jokowi akan berimbas kepada para
kandidat kepala daerah lain di Indonesia (palembang.tribunnews.com).
Ini
sangat menarik untuk kita amati fenomena Jokowi Effect. Ada tiga hal yang
menarik dari sosok Jokowi yang menginspirasi para kandidat yang berlaga di
Pilkada tersebut, yang menjadikan sosok walikota Solo dua periode tersebut.
Pertama, kepemimpinan yang merakyat dan dekat dengan akar rumput. Kedua,
didukung sedikit partai (hanya PDI-P dan Partai Gerinda). Ketiga, ongkos
politik yang rendah dan tidak jor-joran dalam pencitraan. Tentu ketiga hal ini
sangat memungkinkan untuk diterapkan oleh para kandidat tersebut.
Pencitraan
yang paling menonjol dari Jokowi adalah dengan kostum resmi kampanyenya yakni
baju kotak-kotak. Ternyata banyak para kandidat Pilkada tersebut juga ingin
“didandani” dengan baju kotak-kotak juga. Menariknya, mereka juga mencopas
habis gaya Jokowi-Ahok, ini hanya sekedar tren atau cara pencitraan diri bagi
pasangan kandidat tersebut
Belum
sebulan dilantik, Jokowi Ahok langsung bekerja dan turun ke lapangan. Media
masih mengejar dan menguntit keduanya sebagai sumber berita laris manis.
Sementara bagi beberapa orang, masih mencibir sepak terjang Jokowi Ahok ini
sebagai pencitraan. Sementara beberapa orang lainnya justru membela: “pejabat
gak kerja dimarah-marahin, pejabat kerja malah dibilang pencitraan”.
Sebetulnya
apa sih hebatnya Jokowi Ahok ini karena mblusukkan ke kampung-kampung,
Monitoring keliling gedung Balai Kota, Sidak ke kelurahan dan kecamatan. Yang
dikerjakan Jokowi Ahok itu adalah pekerjaan sesungguhnya dari seorang gubernur
dan wakil gubernur. Istilah orang swasta adalah job description-nya. Jadi job
description-nya gubernur dan wakil gubernur itu ya seperti yang ditanyakan tadi
di atas. Yang menjadi hebat bukan Jokowi Ahok-nya, melainkan sistem birokrasi
pemerintahan yang selama ini mandul, tidak bekerja, leyeh-leyeh, dan tidak
ditindak itulah yang hebat!
Jokowi
dan Ahok cuma pejabat negara, pelayan masyarakat, yang digaji oleh pajak warga
DKI. Mereka sadar itu maka mereka bekerja dan menjalani amanah itu. Tidak ada
yang aneh dan tidak ada yang hebat. Saya percaya di kelurahan, kecamatan, atau
kantor Pemprov DKI pun masih banyak PNS yang bekerja total untuk melayani
masyarakat.
Dalam
prosesnya, pencitraan cara itu memakan biaya. Biaya untuk membayar konsultan,
agensi periklanan, mengundang dan membayar wartawan untuk diliput. Saat seorang
tokoh berkampanye, maka dia sedang melakukan proses pencitraan. Namun, sejak
kunjungan ke daerah kumuh masuk ke dalam salah satu “program” kampanye, maka
sejak itulah, siapa pun tokoh, pejabat, atau selebriti yang turun ke pelosok
dianggap pencitraan. Apalagi saat mblusukkan ke kampung-kampungnya itu diliput
media. Anehnya untuk Jokowi Ahok, situasinya terbalik karena media lah yang
memburu kemana saja Jokowi Ahok pergi. Bagi media, topik Jokowi Ahok masih laku
dijual sebagai berita. Kelak, jika sudah tidak laku lagi jangan-jangan para
wartawan itu males membututi Jokowi Ahok lagi.
Sebaliknya..
jika kelak saat wartawan sudah tidak meliput Jokowi Ahok lagi lantas mereka
berdua kendor atau ogah-ogahan kerja, maka bisalah kita semua mencap Jokowi
Ahok selama ini bekerja hanya untuk pencitraan. Kita tunggu dan kita pantau
saja. Ujian warga adalah sama-sama ikut memantau kinerja mereka berdua dan siap
bersikap sportif jika memang keduanya ternyata tidak sungguh-sungguh bekerja.
Ini lebih sportif daripada kerja kita sebagai warga cuma mengomentari,
mencibir, dan nyinyir saja.
Kemenangan
Jokowi di pilkada DKI Jakarta 2012 meninggalkan “konflik” bagi partai
pendukungnya, yaitu PDIP dan Gerindra. Bermula dari hasil survey sebuah lembaga
yang mengatakan Prabowo lebih diuntungkan terkait citra dan pilpres (pemilihan
presiden) 2014 dibanding Megawati.
Tanggapan
mengenai hal ini, baik yang berasal dari kalangan PDIP maupun Gerindra
menimbulkan beberapa perkiraan, dugaan, prediksi, analisis dan catatan, antara
lain:
PDIP
khawatir posisi tawar menawar politiknya menjadi lemah pada pilpres 2014 nanti
jika menginginkan Megawati sebagai capres (calon presiden) dan Prabowo sebagai
cawapres (calon wakil presiden).
Gerindra
memiliki posisi tawar menawar politik yang cukup kuat untuk membalikkan
keadaan, yaitu Prabowo (Gerindra) capres dan Megawati (PDIP) cawapres.
Kemenangan
Jokowi di pilkada DKI Jakarta 2012 menurut pengamat politik lebih disebabkan figur,
bukan partai pendukungnya.
Jika
figur Prabowo lebih menjanjikan untuk menjadi capres di pilpres 2014 nanti,
Gerindra tetap membutuhkan kerja sama politik dengan PDIP yang memiliki basis
pendukung massa yang lebih kuat.
Seandainya
Prabowo akhirnya diputuskan yang maju sebagai capres, mungkinkah Megawati
bersedia menjadi cawapres?. Kemungkinan besar tidak. Selain gengsi, nama
Megawati tidak terlalu menjual untuk menarik perhatian pemilih di luar PDIP dan
Gerindra.
Mungkinkah
Puan Maharani yang tampil sebagai cawapres?. Mungkin saja, tapi masih ada figur
yang lebih menjual yang berasal dari PDIP pula, yaitu Jokowi.
Figur
Jokowi belum menjual sebagai capres di pilpres 2014 nanti. Waktu sekitar 2
tahun pertama masa kegubernurannya akan disibukkan dengan permasalahan yang ada
di DKI Jakarta. Jika Jokowi lolos dari ujian 2 tahun masa kegubernurannya,
figurnya akan laku dijual sebagai cawapres.
Mungkinkah
PDIP dan Gerindra akhirnya sepakat memajukan figur Prabowo sebagai capres dan
Jokowi sebagai cawapres?. Apa keuntungan politik bagi PDIP dan terlebih lagi
bagi “dinasti Soekarno”?.
Jika
kesepakatan politik tidak terjadi, kemesraan politik PDIP dan Gerindra
berakhir, masing-masing mengambil jalan politiknya, siapa calon pendamping
Prabowo yang layak sebagai cawapres?. Putusnya hubungan mesra politik antara
PDIP dan Gerindra cenderung lebih merugikan ke dua belah pihak.
Benarkah
PDIP masih ngotot ingin memajukan Megawati sebagai capres 2014?. Untuk
mendongkrak perolehan suaranya mengambil Jokowi sebagai cawapres?.
Tahun
2014 menuju pilpres sekitar 2 tahun lagi. Panjang atau pendeknya waktu yang
tersisa masih dapat menaikkan atau menurunkan figur Prabowo, Megawati dan
Jokowi yang akan mempengaruhi kesepakatan politik antara PDIP dan Gerindra
mengenai capres dan cawapresnya nanti, jika hubungan mesra politiknya belum
berakhir.
Bab Penutup
1.1 Kesimpulan
Pencitraan itu baik sejauh caranya baik dan
tujuannya baik sesuai dengan fakta yang baik
.Pencitraan
itu buruk apabila bertujuan untuk menutupi hal-hal yang buruk.
1.2 Saran
Pencitraan sebaiknya dilakukan tidak hanya
mengedepankan kepentingan pribadi semata tetapi sebaiknya juga mengedepankan
kepentingan public supaya public tidak merasa ditipu dan dibohongi bahkan
dirugikan oleh keputusan tersebut.
Daftar pustaka