SOMATOFORM DISORDERS
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : psikologi Abnormal
Dosen Pengampu : wisnu buntaran, S.psi
![]() |
Disusun oleh :
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
1. PENDAHULUAN
Gangguan
somatoform adalah sekelompok gangguan mental yang ditempatkan dalam kategori
umum berdasarkan gejala eksternal merek. Gangguan
ini ditandai dengan keluhan fisik yang tampaknya medis tetapi yang tidak dapat dijelaskan dengan
penyakit fisik, hasil penyalahgunaan zat, atau gangguan mental lainnya. Dalam
rangka untuk memenuhi kriteria untuk gangguan somatoform, gejala fisik harus
cukup serius untuk mengganggu pekerjaan pasien atau hubungan, dan harus gejala
yang tidak di bawah kontrol sukarela pasien.
Hal ini
membantu untuk memahami bahwa klasifikasi sekarang gangguan ini mencerminkan
perubahan sejarah terbaru dalam praktek kedokteran dan psikiatri. Ketika
psikiatri pertama menjadi cabang terpisah kedokteran di akhir abad kesembilan
belas, histeria istilah umum digunakan untuk menggambarkan gangguan mental yang
ditandai dengan keadaan kesadaran yang berubah (misalnya, tidur sambil berjalan
atau negara trans) atau gejala fisik (misalnya, " lumpuh " lengan
atau kaki tanpa penyebab neurologis) yang tidak dapat sepenuhnya
dijelaskan oleh penyakit medis. Istilah disosiasi digunakan untuk mekanisme
psikologis yang memungkinkan pikiran untuk memisahkan perasaan tidak nyaman,
kenanga , atau ide-ide sehingga mereka kalah ingat sadar.[1]
2. RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah yang dimaksud
somatoform disorders?
B.
Apa saja kah gangguan
terhadap somatoform disorders itu?
C.
Bagaimana penangganan
terhadap somatoform disorders?
3. PEMBAHASAN
A. Pengertian somatoform disorder
Dalam psikologi dikenal istilah Somatoform
Disorder (gangguan somatoform) yang di ambil dari bahasa Yunani soma, yang
berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform, orang memiliki simtom fisik yang
mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang
dapat ditemukan penyebabnya. Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan
yang memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana
tidak dapat ditemukan penjelasan medis. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan
penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk
onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak
disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
Didalam somatoform disorder terdapat jenis-jenis
yang memiliki spesifikasi dan gejala yang berbeda-beda. Pada gangguan somaform, sebuah kelompok gangguan psikologis yang
melibatkan keluhan akan simtom-simtom fisik yang diyakini merefleksikan konflik
atau isu psikologis yang mendasarinya pada sejumlah kasus tidak ada dasar medis
untuk simtom-simtom fisik tersebut, seperti dalam bentuk kebutaan atau mati
rasa secara histerikal (sekarang disebut gangguan konversi) pada kasus-kasus
lain, orang dapat memegang pandangan yang berlebihan tentang makna dari simtom
fisiknya, dan percaya bahwa hal itu merupakan tanda-tanda dari suatu penyakit
serius meskipun diyakini tidak oleh dokternya.[2]
B. Gangguan somatoform
Gangguan somatoform adalah sekelompok gangguan yang ditandai oleh
keluhan tentang masalah atau simtom fisik (misal: nyeri, pusing, mual) yang
tidak dapat dijelaskan secara medis. Karena tidak adanya bukti medis yang
menjelaskan penyebab keluhan fisik inilah maka faktor psikologis dianggap
memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta
lamanya gangguan yang dialami.
Gangguan somatoform berbeda dengan malingering atau dengan syndrom
munchausen[3].
Malingering adalah kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk mendapatkan
hasil yang jelas, memiliki karakteristik perilaku yang disengaja dan
dilebih-lebihkan. Pasien selalu melakukannya untuk memperoleh keuntungan
eksternal sebagai berikut[4]:
1.
Untuk menghindari situasi yang sulit atau berbahaya, menghindari
tanggung jawab, atau hukuman.
2.
Memperoleh kompensasi, kamar atau tempat tinggal gratis, persediaan
obat atau perlindungan dari polisi.
3.
Untuk membalas ketika pasien mengalami rasa bersalah atau
penderitaan karena kehilangan finansial, menjalani hukuman legal atau
kehilangan pekerjaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan syndrom
munchausen adalah suatu bentuk penyakit yang dibuat-buat dengan cara
berpura-pura sakit/sengaja membuat dirinya sakit, tidak ada tujuan khusus
seorang individu melakukan hal ini kecuali untuk mendapat perhatian para ahli
medis.
Adapun berbagai gangguan somatoform diantaranya yakni:
1.
Gangguan nyeri (Pain Disorder)
Pada gangguan ini individu akan mengalami nyeri pada satu tempat
atau lebih yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis. Rasa sakit ini
diduga muncul akibat faktor konflik psikologis. Penanganan yang dapat dilakukan
adalah dengan pelatihan relaksasi, mengajari penderita bagaimana caranya
menghadapi stres, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan
meningkatkan kontrol diri.[5]
Gangguan nyeri ditandai dengan adanya sakit parah sebagai fokus
perhatian pasien . kategori gangguan somatoform yang mencakup berbagai pasien
dengan berbagai penyakit, termasuk sakit kepala kronis, masalah punggung,
arthritis, nyeri otot dan kram, atau nyeri panggul. Dalam beberapa kasus nyeri
pasien tampaknya sebagian besar karena faktor psikologis, namun dalam kasus
lain rasa sakit berasal dari suatu kondisi medis serta psikologi pasien.
Gangguan nyeri relatif umum dalam populasi umum, sebagian karena
frekuensi cedera yang berhubungan dengan pekerjaan nya. Gangguan ini tampaknya
lebih umum pada orang dewasa yang lebih tua, dan rasio jenis kelamin hampir
sama, dengan rasio perempuan ke laki-laki 2:1 .
2.
Gangguan Dismorfik Tubuh (Body Dysmorphic Disorder)
Merupakan keluhan yang berlebihan/dibesar-besarkan tentang
kekurangan tubuh. Penyebab dari gangguan ini belum diketahui secara pasti,
namun diperkirakan faktor budaya atau sosial mempengaruhi. Misalnya adanya
konsep bahwa perempuan cantik adalah yang memiliki hidung yang mancung, seorang
individu yang mengalami gangguan dismorfik tubuh bisa jadi akan menghabiskan
waktu berjam-jam di depan cermin untuk mengamati kekurangan hidungnya atau bisa
jadi ia akan mengeluarkan biaya berapapun untuk memperbaiki hidungnya dengan
cara operasi plastik.
3.
Hipokondriasis
Yakni ketakutan akan penyakit serius. Kecemasan yang dialami oleh
seorang penderita hipokondria bukan hanya sekedar meyakininya saja melainkan
juga disertai dengan tindakan, penderita hipokondria akan selalu menanggapi
keluhan-keluhn fisik dengan sangat serius dan menyimpulkan bahwa dia menderita
penyakit tertentu. Misal ketika menderita batuk, penderita hipokondria akan
menganggap bahwa ia mengalami penyakit TBC atau kanker paru, sehingga ia akan
terus memeriksakan dirinya ke dokter dan tidak mempercayai hasil lab, sekalipun
hasil tersebut sudah sangat akurat.
Penyebab hipokondria umumnya adalah trauma, kecemasan, beban
emosional dan konflik psikologis. Penanganan yang bisa dilakukan untuk para
penderita hipokondriasis adalah dengan terapi kognitif behavioral karena terapi
ini dapat mengubah pemikiran yang pesimis.
4.
Gangguan konversi
Menurut DSM IV, gangguan konversi adalah gangguan dengan
karakteristik munculnya satu atau beberapa simtom neurologis (misal: buta,
lumpuh, dll) yang tidak dapat dijelaskan secara medis dan diduga faktor
psikologis memiliki peranan penting dengan awal dan keparahan gangguan.
Gangguan konversi (conversion disorders)
dicirikan oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik, meski tidak ada temuan
medis yang dapat ditemukan sebagai
simtom atau kemunduran fisik. Simtom-simtom ini tidaklah dibuat secara sengaja.
Simtom fisik itu biasanya timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan.
Tangan seorang tentara dapat menjadi “lumpuh” saat pertempuran yang hebat
Menurut DSM, simtom konversi menyerupai
kondisi neurologis atau medis umum yang melibatkan masalah dengan fungsi
motorik (gerakan) yang volunteer atau fungsi sensoris. Babarapa pola simtom
yang klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsy, masalah dalam koordinasi, kebutaan
tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat didepan mata),
kehilangan indra paendengaran atau penciuman atau kehilangan rasa pada anggota
badan(anestesi).[6]
5.
Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik berbagai
keluhan atau gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat (tidak
memenuhi syarat) dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun
laboratorium. Gangguan ini bersifat kronis (muncul selama beberapa tahun dan
terjadi sebelum usia 30 tahun) dan berhubungan dengan stres psikologis yang
signifikan, hendaya dalam kehidupan sosial dan pekerjaan serta upaya mencari
pertolongan medis yang berlebihan.
Adapun menurut DSM IV gejala-gejala yang muncul harus meliputi[7]:
1.
Minimal ada empat simtom nyeri pada lokasi yang berbeda.
2.
Minimal ada dua simtom gastrointestinal. (misal: mual, kembung)
3.
Riwayat minimal ada satu simtom seksual yang berbeda dari rasa
sakit/nyeri. (misal: ketidakmampuan ereksi).
4. Satu gejala
pseudoneurologis: Riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan
pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti
sulit menelan atau benjolan ditenggorokan, retensi urin, pandangan ganda, kebutaan,
ketulian, kejang).
Gangguan somatisasi sering disertai oleh gangguan mental yang lain,
seperti gangguan kepribadian, cemas, fobia, dll.
Penanganan yang bisa
dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa
faktor psikologis terlibat dalam gejala penyakit. Dalam lingkungan
psikoterapeutik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk
mengekspresikan emosi yang mendasari dan untuk mengembangkan strategi
alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka.
Jika gangguan somatisasi
disertai dengan gangguan yang lain maka terapi psikofarmakologis penting untuk
diterapkan dengan disertai pengawasan, sebab penderita ini cenderung
mengkonsumsi obat secara berlebihan[8].
C. PENANGGANAN TERHADAP SOMATOFORM
Jika memang terindikasi bahwa kamu adalah
penderita somatoform disorder disarankan segara mendatangi psikolog untuk
diberikan penanganan terapi agar gangguan dapat berkurang. Namun untuk kamu
yang masih dalam taraf yang normal berikut adalah tips agar mengurangi rasa
cemas atau gugup pada saat menghadapi situasi-situasi yang kurang membuat kamu
nyaman:
1. Tunda
Kecemasan
Ini adalah teknik sederhana mengatasi
kecemasan. Jika kamu sedang menghadapi situasi yang mengkhawatirkan, coba
katakan pada diri sendiri “nanti aja deh aku menghawatirkan ini, karna gak akan
terjadi apa-apa hari ini”. Setiap kali masalah muncul di pikiran kamu, pakailah
cara ini karna fakta mengatakan bahwa kecemasan berlebihan sebagian besar tidak
pernah terjadi. Menunda hanya cara untuk mengatasi pikiran negatif. Sifat alami
dari pikiran manusia adalah menciptakan masalah dan mencemaskannya. Teknik ini
adalah cara mengatasi kecemasan berlebihan yang paling mudah.
2. Ambil Tindakan
Rasa cemas membuat kita lumpuh oleh ketakutan.
Daripada hanya mencemaskannya saja, pikirkan dengan hati-hati langkah yang bisa
diambil untuk menghindari masalah tersebut. Misalnya, ketika kamu mencemaskan
masalah keuangan, pikirkan cara untuk mengurangi pengeluaran, cara meningkatkan
pendapatan dsb. Cara mengatasi kecemasan bukan dengan hanya
merasakannya dan seolah tidak berdaya. Ambilah tindakan, Beberapa masalah tidak
boleh diabaikan dan butuh tindakan, sebagian lagi tidak memerlukan tindakan
apa-apa karena hanya merupakan imajinasi belaka.
3. Hati-Hati
Dengan Apa Yang Dipikirkan
Ketika kita sering memikirkan sesuatu,
kemungkinan besar hal tersbut akan terwujud. Jika kita khawatir akan membuat
kesalahan, peluang kesalahan tersebut bisa terjadi semakin besar. Oleh karena
itu, berhati-hatilah dengan apa yang kamu pikirkan. Ingat tentang kekuatan
pikiran. Daripada memikirkan hal yang negatif, pikirkan cara mendapatkan jalan
keluar dari masalah.
4. Kendalikan
Pikiran
Cara menghilangkan kecemasan yang paling utama
adalah dengan belajar mengendalikan pikiran. Kadang kita dikuasai oleh pikiran
sendiri, seolah kita diperbudak oleh pikiran yang belum jelas. Identifikasi
pikiran yang muncul terlebih dahulu, terima jika pikiran itu benar dan
keluarkan bila pikiran itu hanya merusak diri. Milikilah kemampuan untuk mengendalikan
pikiran kita sendiri.
5. Jangan
Bersikap Angkuh
Kita sering khawatir tentang penilaian orang
lain terhadap diri kita. Kita khawatir tidak dapat memenuhi harapan orang lain.
Pemikiran seperti ini yang membuat diri angkuh karena terus-menerus mencari
penghargaan dan kekaguman dari orang lain. Diperlukan kepercayaan diri yang
tinggi dan ketenangan batin untuk tidak khawatir terhadap penilaian orang lain.[9]
D. KESIMPULAN
Dalam psikologi
dikenal istilah Somatoform Disorder (gangguan somatoform) yang di ambil dari
bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan
somatoform, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik,
namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan penyebabnya. Gangguan
somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing). Berbagai
gangguan somatoform diantaranya:
A. Gangguan nyeri (Pain Disorder)
B. Gangguan Dismorfik Tubuh (Body
Dysmorphic Disorder)
C. Hipokondriasis
D. Gangguan konversi
E. Gangguan Somatisasi
F.
PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat, saya sadar bahwa dalam pembuatan makalah
ini masih banyak kekurangan. Maka dari itu saya mengharap kritik dan
saran dari pembaca demi penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua. aminnn
G.
DAFTAR PUSTAKA
Jeffery S. Nevid, Spencer A. Rathus,
Beverly Greene. psikologi Abnormal. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2003
V. Mark Durand & David H. BarlowI. intisari
Psikologi Abnormal. pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2006
Fitri Fausiah & Julianti Widury, Psikologi Abnormal Klinik Dewasa. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia. 2005
[2] Jeffery S. Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene, psikologi Abnormal,
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003, hal
201.
[3] Jeffery S.
Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene, psikologi Abnormal, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2003
[4] Fitri Fausiah &
Julianti Widury, Psikologi Abnormal
Klinik Dewasa, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2005, hlm. 35
[5] V. Mark Durand &
David H. BarlowI, intisari Psikologi Abnormal, pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006, hal 239.
[7] Fitri Fausiah & Julianti Widury, Opcit, hlm 33
No comments:
Post a Comment